Kisah Buruh Kontrak Yang Terjun Ke Dunia Politik, Awalnya Sama Sekali Tidak Menyukai Politik

Ini cerita tentang I Komang Slamet Wirsana yang akrab dengan panggilan Mang Slamet, seorang pekerja yang terlahir dari keluarga petani di daerah Kerobokan, Badung – Bali.
Pria kelahiran 1982 ini sekarang memilih untuk aktif berpolitik. Perubahan haluan 180 derajat, karena dulunya ia sama sekali tidak menyukai dunia politik. Keberanian untuk menantang gelapnya dunia politik dilakukan Mang Slamet bukan untuk mengejar jabatan. Berikut cerita yang dituturkannya secara langsung.
“Saya sadar diri saya bukan siapa-siapa dan saya tidak punya pengaruh apa-apa di lingkungan tempat tinggal saya,” tutur Mang Slamet mengawali cerita hidupnya,”Saya hanyalah anak desa, hidup saya pun masih serba kekurangan. Jangankan untuk berpolitik praktis, bergaul di lingkungan politik pun saya merasa tidak pantas.”
Mang Slamet memulai karir sebagai seorang pekerja di salah satu perusahaan swasta yang ada di Bali dengan sistem kontrak melalui sebuah perusahaan outsourcing. Hampir 17 tahun lamanya Mang Slamet menjalani profesinya seperti pekerja pada umumnya. Ia tak menemukan adanya masalah dengan ikatan sebagai buruh kontrak, semua dirasakan berjalan normal dan baik-baik saja.
Namun ditahun 2017 dirinya baru merasa mulai ada kejanggalan pada masalah penggajian. Besaran peningkatan gaji pokok berdasarkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) diikuti dengan penurunan nominal jumlah tunjangan. Tak cuma sedikit, penurunan jumlah tunjangan bisa mencapai setengah kali kenaikan UMK. Bahkan selanjutnya dimulai pada kisaran tahun 2020, Mang Slamet tidak pernah lagi mendapatkan
kenaikan gaji.
Ditahun 2023 sistem penggajian semakin parah lagi. Jumlah tunjangan disunat habis sama dengan jumlah kenaikan UMK. Artinya pekerja tidak menerima sama sekali kenaikan gaji alias kenaikan gaji Rp. 0,-
Mang Slamet mengaku bertambah miris dengan perlakuan perusahaan yang semakin seenaknya sendiri. Contohnya ketika perusahaan merasa perlu tenaga tambahan, manajemen tak segan menugaskan pekerjanya yang pada hari itu semestinya berhak atas hari libur . Sementara upah lembur yang diterima pekerja, perhitungannya tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan yaitu Rp. 75 ribu untuk 1 kali 8 jam kerja.
Hak cuti pekerja pun tak luput dari permasalahan. Perusahaan memang memberikan hak cuti, tapi kenyataannya tidak bisa diambil.
Dengan segala keadaan tersebut pekerja tidak bisa berbuat apa-apa. Tak juga berani bertanya, mungkin karena merasa takut mendapat PHK jika menuntut haknya terlalu keras. Dengan status hanya sebagai buruh kontrak, pekerja tahu diri bahwa mereka tidak memiliki posisi tawar yang seimbang.Maka diam dan pasrah menjadi pilihan terbaik.
Apa lagi dengan ditetapkannya UU CIPTAKER, dimana tidak lagi ada pembatasan waktu dan periode penggunaan tenaga kerja kontrak. Perusahaan tak dituntut untuk mengangkat pekerja sebagai karyawan tetap jika pekerja tersebut telah melewati masa kerja tertentu. Perusahaan akan gunakan celah aturan dalam UU CIPTAKER sehingga seseorang akan dipekerjakan cukup dengan memperbarui kontrak yang ttelah habis masanya, biasanya berjangka setahun.
Sistem ini menyebabkan pekerja pada posisi yang sangat lemah. Pertama, mereka hanya memiliki masa kerja sepanjang masa kontrak. Seorang pekerja kontrak tidak mungkin dapat membangun jenjang karir karena nasib mereka tergantung perusahaan dalam memutuskan kelanjutan kontrak kerja setelah kontrak nya berakhir. Dan cilakanya perusahaan biasanya akan lebih memilih pekerja fresh graduate, baru tamat sekolah. Dan alasan mereka tak jauh dari bagaimana cara berhemat pengeluaran upah pekerja.
Jika diteruskan, sistem tenaga kontrak akan lebih banyak menelan korban, tak beda jauh dengan penjajahan oleh konsorsium perusahaan Belanda VOC di masa kolonial.
Mang Slamet juga melihat bahwa sistem kerja kontrak ini dapat berjalan tak lain karena adanya undang-undang sebagai hasil dari sebuah keputusan politik di gedung parlemen.
Karenanya kelas pekerja harus dapat menempatkan perwakilannya di gedung legislatif jika ingin perundang-undangan yang terlahir nanti dapat berpihak pada kelas pekerja.
Seperti sebuah adagium yang menyebut Takkan berubah satu golongan jika mereka tidak berjuang untuk perubahan itu.
Untuk itu kelas pekerja harus bisa ikut ambil andil didalam penetapan kebijakan-kebijakan di negara kita ini agar ada perimbangan antara kepentingan pengusaha maupun pekerja.
Karena dengan adanya jaminan kesejahteraan, kelas pekerja dapat menjadi salah satu faktor penentu lancar untuk pergerakan roda perekonomian. Hal tersebut tak terlepas dari fakta bahwa kelas pekerja yang berposisi pada dasar piramid sosial memiliki jumlah terbesar yang juga akan menjadi pembeli untuk mengkonsumsi produk-produk di pasaran yang dihasilkan oleh pengusaha. Jika pekerja tidak sejahtera maka pekerja akan kesusahan membeli produk-produk tersebut.
Pemikiran tersebut membuat Mang Slamet mengambil keputusan yang tak pernah terlintas sebelumnya. Dirinya harus terjun ke dunia politik, menghimpun kekuatan pekerja untuk dapat merubah nasibnya dengan salah satu agenda yakni menghapus sistem kontrak kerja tanpa batasan yang dapat merugikan pekerja.
“Saya berharap masyarakat khususnya kelas pekerja dapat melihat peluang bahwa sistem kontrak kerja ini dapat kita hapus secara konstitusional. Dan itu akan terwujud hanya jika kita bangkit bersama-sama memperjuangkan hak-hak pekerja. Negara baru bisa dikatakan sejahtera apabila rakyatnya hidup sejahtera dan pekerja adalah bagian dari rakyat karena pekerja berasal dari rakyat,” Ujar I Komang Slamet Wirsana menutup ceritanya.