Revolusi Oranye, Saatnya Suara Kelas Pekerja Diperdengarkan Di Parlemen

Catatan Demokrasi oleh I Komang Slamet Wirsana

Kita bisa rasakan banyak kebijakan pemerintah yang masih belum berpihak pada kelas pekerja dan malah cenderung menguntungkan kelas pemodal pengusaha, KENAPA BISA BEGITU?

Salah satu produk pemerintah (kolaborasi antara eksekutif dan legislatif) yang cukup krusial adalah terbitnya Undang-undang Cipta Kerja.

Undang-undang ini dirasakan lebih memperhatikan kepentingan kelas pengusaha dibandingkan kelas pekerja sebagai komponen anak bangsa yang tengah berjuang meningkatkan kesejahteraan. Padahal diawal katanya UU Ciptaker ini diterbitkan guna menarik minat investor dalam membangun industri di Tanah Air sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja.

Tapi apakah masih ada gunanya kita bekerja jika upah yang diberikan rendah dengan tunjangan minim, sehingga kesejahteraan yang ingin dicapai masih jauh dari jangkauan.

Ada yang menyebut jika dulu jaman perbudakan Hindia Belanda Buruh tidak diberi upah dan hanya diberi makan saja. Faktanya saat ini pekerja diberi upah yang jumlahnya hanya cukup untuk makan saja. Lalu dimana bedanya? Inilah masa neokolonialisme, penjajahan gaya baru.

UU Ciptaker mengatur penggunaan tenaga kerja kontrak yang tidak lagi ada batasan waktu atau batasan periode yang kemudian meberi jaminan pekerja dapat diangkat sebagai pegawai tetap selepas perjanjian dirinya sebagai kontrak berakhir.

Patut disadari bahwa hal ini akan melemahkan posisi pekerja dan hak pekerja mudah dipermainkan. Karena sekalinya pekerja berani memprotes kebijakan perusahaan, atau oknum perusahaan maka pekerja seketika akan disanksi putus hubungan kerja, PHK tanpa mendapat pesangon.

Sehingga tak heran jika kita lebih sering membaca adanya perlakuan tidak senonoh pada kelas pekerja di tingkat level terbawah. Buruh wanita tidak akan mendapat perpanjangan kontrak jika menolak staycation / menginap bareng manajer HRD. Atau ada juga pekerja menerima perlakuan kekerasan fisik tanpa berani melapor kepada pihak penegak hukum.

Merosotnya tingkat kesejahteraan pekerja juga dirasa belum mendapat cukup perhatian dari pemerintah. Meningkatnya inflasi yang ditandai dengan kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran tak seiring dengan kenaikan upah buruh dengan tunjangannya.

Akal-akalan pun terjadi, upah buruh dinaikkan tetapi tunjangan diturunkan. Sehingga secara akumulatif upah ditambah tunjangan, hasilnya masih sama saja tanpa ada kenaikan.

Penerbitan aturan kebijakan perundang-undangan oleh pemerintah (baik eksekutif dan legislatif) sangat dirasakan masih belum dapat mewakili perjuangan kelas pekerja.

Sistem Pemilu berbiaya tinggi dituding menjadi akar persoalan. Karena untuk bisa merebut kursi Kepala Daerah, seseorang harus mengeluarkan uang belasan sampai puluhan milyar. Sementara untuk bisa menjadi anggota dewan, seseorang paling sedikit merogoh kocek ratusan juta hingga milyaran rupiah. Mereka yang cukup punya uang dingin untuk dipertaruhkan tentu tidak berasal dari kelas pekerja penerima upah harian yang bisa makan hari ini tapi untuk besok masih harus mikir. Karenanya tak heran kursi kepala daerah dan kursi dewan banyak diisi oleh kalangan pengusaha, dalam hal ini tentunya pengusaha mapan.

Jadi kembali lagi, bagaimana mereka yang tidak pernah merasakan hidup miskin dapat memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas bawah. Paling banter mereka akan datang membawa bantuan sosial berupa sembako, sementara angka kurang gizi terus meningkat. Karena bantuan sembako mereka tak cukup banyak sehingga tak cukup pula untuk meningkatkan kualitas gizi.

Dan mereka cenderung untuk mempertahankan kekuasaan untuk bisa tetap dalam posisi sebagai pemberi bantuan sosial. Sejak mencalonkan diri, turun ke masyarakat bawa bansos, saat menjabat yang diberikan pada masyarakat juga bansos, nanti akan habis masa jabatan dan agar terpilih kembali juga yang dibawa adalah bansos. Maka mereka sangat berkepentingan untuk memelihara level masyarakat sebagai penerima bansos.

Mereka tidak mau berpikir bagaimana masyarakat bisa mandiri, bagaimana masyarakat lepas dari jeratan kemiskinan dengan peningkatan upah buruh dan tunjangannya sehingga keluarga buruh bisa meningkatkan gizi keluarga, bisa memberi pendidikan layak bagi anak-anaknya.

Karenanya perlu dicanangkan revolusi oranye, perubahan oleh kalangan kelas pekerja. Kita harus memikirkan bagaimana kelas pekerja dapat menempatkan perwakilannya di gedung parlemen. Buruh adalah simbol perjuangan kelas pekerja, simbol pendobrak sistem yang hanya berpihak bagi kalangan pengusaha pemeras keringat pekerja. Simbol perlawanan terhadap neokolonialisme, penjajahan gaya baru.

Pemilu 2024 menjadi momentum bangkitnya perlawanan ini. Menjadi saat yang tepat bagi munculnya revolusi oranye untuk merubah wajah pemerintahan secara konstitusional. Saatnya para pekerja memberikan suaranya untuk calon legislatif yang berasal dari kalangan pekerja. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ; Kalau bukan kita, siapa lagi.

Mari segarkan demokrasi Indonesia

Tinggalkan Balasan